Mengawal Industri Rotan Dengan Pemantauan Standar, Lingkungan Terjaga, HHBK Termanfaatkan
Rotan sendiri merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memberi sumbangan besar terhadap sektor ekonomi di Indonesia. Pulau Kalimantan kaya akan HHBK rotan, dimana masih banyak masyarakat di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menggantungkan hidupnya dengan mengembangkan pengusahaan rotan.
Penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya akan berdampak pada lingkungan, baik secara positif maupun negatif. Industri rotan biasanya berupa industri kecil hingga menengah yang mampu menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah cukup banyak dan berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian masyarakat di wilayah sekitar. Meskipun demikian, keberlangsungan industri ini sedikit banyak akan berdampak pada kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Adanya proses perlakuan pengasapan dengan belerang dan perendaman rotan yang melibatkan berbagai macam senyawa kimia berbahaya seperti asam sulfat (H2SO4), peroksida (H2O2), sodium klorida, dan lain-lain dalam jumlah banyak menjadikan industri rotan perlu mendapatkan perhatian lebih dalam hal pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidupnya agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL UPL) atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL), jenis usaha dan/kegiatan terkait industri rotan ini merupakan kegiatan multisektoral yang berpotensi menyebabkan konflik sosial dan pencemaran udara (kategori C) sehingga memerlukan dokumen lingkungan dalam menjalankan usahanya. Berdasarkan PermenLHK tersebut, industri berbasis rotan yang meliputi industri pengolahan rotan (Kode KBLI 16104), industri pengawetan rotan (Kode KBLI 16103), industri barang anyaman rotan (Kode KBLI 16), industri furnitur dari rotan (Kode KBLI 31002), industri barang dari kayu, rotan gabus lainnya (Kode KBLI 16299), dan industri barang anyaman dari rotan dan bambu (Kode KBLI 16291) merupakan usaha dan/atau kegiatan berisiko.
Untuk menekan risiko dampak negatif berupa kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari keberlangsungan industri rotan, pemerintah telah memberlakukan dan mewajibkan para pelaku usaha untuk memenuhi Dokumen Lingkungan, yaitu AMDAL, UKL UPL, atau SPPL dalam pengurusan persetujuan lingkungan dan usaha. Dengan kegiatan pemantauan penerapan standar akan didapatkan potret sejauh mana standar terkait pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang diacu dapat diterapkan dengan baik oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Kegiatan pemantauan penerapan Standar Form UKL UPL Industri Rotan dilakukan terhadap dua perusahaan di Kalsel . Sesuai dengan Kode KBLI yang diacu oleh perusahaan, maka tim BPSILHK Banjarbaru yang dimotori oleh Dra. Lilis Kurniati bersama para pelaksana (Dewi Alimah, Fauziah, dan Beny Rahmanto) menggunakan Standar UKL UPL Industri Berbasis Lahan sebagai acuan dalam pemantauannya. Hal ini dikarenakan belum adanya standar spesifik untuk industry rotan.
Secara garis besar Standar UKL UPL Industri Berbasis Lahan, khususnya pada tahap operasional dapat diterapkan dengan baik. Dalam artian sudah ada kesesuaian antara Matrik Rencana Pengelolaan lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (Matrik RPL RKL) yang ada pada Dokumen UKL UPL dengan realisasi di lapangan
Adapun untuk wilayah Kalteng didominasi oleh Industri rotan berbasis risiko rendah (SPPL). SPPL berisi pernyataan kesanggupan dari pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup yang wajib dimiliki bagi usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib AMDAL atau UKL UPL. Para pelaku usaha industri rotan tersebut tersebar di beberapa wilayah yang sekaligus merupakan kawasan penghasil bahan baku rotan seperti Kab. Katingan, Kab. Sampit, dan Kab. Kapuas. Pengusahaan rotan di Kalteng ini berkutat pada pengumpulan rotan mentah dari kawasan dan pengasapan rotan mentah dengan belerang atau pengolahan rotan mentah menjadi rotan setengah jadi.
Di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) ini, BPSILHK Banjarbaru telah melakukan pemantauan terhadap beberapa pelaku usaha rotan pemegang legalitas dokumen lingkungan hidup, SPPL. Ragam usaha yang dijalankan mulai dari industri pengolahan rotan setengah jadi hingga industri yang berorientasi barang jadi seperti produk kerajinan anyaman dan furniture rotan. Pemantauan dilakukan pada item-item standar minimal yang harus disediakan oleh pelaku usaha skala SPPL, yaitu sarana prasarana (sarpras) utama dan pendukung seperti papan nama usaha, instrumen kesehatan standar (P3K); operasional unit utama dan pendukung seperti menerapkan keselamatan kerja dan pekerja, jadwal operasional, aktivitas meredam polusi dari akibat aktivitas usaha; pengelolaan limbah meliputi limbah domestik, limbah padat, penampungan oli bekas; dan pemantauan lingkungan seperti rutinitas pendampingan dan koordinasi dengan dinas terkait, dan lain-lain.
Kawasan hutan di Kalteng ini kaya akan rumpun rotan dari jenis rotan sega (Calamus caesius Blume) dan rotan irit (C. Trachycoleus Beccari). Pemerintah Kabupaten Katingan melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) juga mendukung penuh pengusahaan rotan di wilayahnya melalui pembangunan gudang produksi kerajinan dan furniture rotan yang telah dilengkapi mesin-mesin pengolah rotan. Meskipun demikian kurangnya pasar dan adanya sumber penghasilan yang lebih menjanjikan seperti menambang emas dan bisnis sarang burung walet, menjadi penyebab utama lemahnya geliat pengusahaan rotan di Kalteng, khususnya dalam bentuk industri berskala besar. Pada kegiatan ini DLH Kota Banjarbaru, DLH Kota Banjarmasin, Disperindag Kab. Katingan menjadi mitra kerja BPSILHK Banjarbaru dalam melakukan pemantauan penerapan standar. ***DA